Kamis, 16 Oktober 2008

Jejak-Jejak Haflah






Haflah Akhirussanah Pondok Pesantren Darussalam Banyumas telah usai, namun kesan dan pesan yang terkenang begitu dalam. Haflah bukan hanya sekedar perayaan belaka, di dalam selebrasi ini para santri membuktikan bagaimana kerja keras dan hasil belajar mereka selama ini. Dari yang kecil hingga yang dewasa semua bergembira. Masyarakatpun antusias mengikuti dan menyemaknya.
Wah.. benar-benar membehana gempitanya.
Pemangku berharap semoga para peserta Haflah dan Panitia mendapat berkah dan pahala dari Alloh SWT atas kesungguhan dan kerja keras mereka selama ini. Lalu bagaimana dengan Haflah selanjutnya? kita tunggu gebrakan selanjutnya.. Selamat belajar!!.

Senin, 13 Oktober 2008

QUO VADIS GERAKAN FEMINISME



A. Pendahuluan
Salah satu agenda penting dalam diskusi mengenai gerakan perempuan adalah mempertanyakan kembali postulat lama yang mengukuhkan bahwa perempuan lebih ‘patut’ berada di dalam rumah. Mungkin, persoalan yang perlu dikemukakan disini adalah tentang problem dan efek mendasarnya. Karena pertanyaan yang sering muncul dan berkaitan dengan ini adalah apakah perempuan yang selalu berada di rumah itu merupakan problem gender yang mendiskriminasikan perempuan?. Lalu bagaimana dengan para perempuan yang memang menjadikan rumah sebagai ‘institusi’ yang lebih menyenangkan bagi kehidupannya dibandingkan harus berkarir secara bebas diruang publik?[1].
Makalah ini mencoba berpartisipasi di dalam mendamaikan pemikiran dan sekaligus mereposisi makna feminisme, baik sebagai suatu gerakan maupun sebagai suatu fenomena di masyarakat. Dalam hal ini bagaimana melihat wacana feminisme ini secara lebih utuh dan proposional, sehingga silang sengketa praksis laki-laki dan perempuan dapat kembali ke dalam pelukan yang dimaknakan Islam.
Wacana ini sekaligus sebagai sebuah kritik terhadap histeria tema-tema feminisme yang cenderung lost oriented terhadap aksioma ortodoks. Dengan meminjam pemikiran Fazlur Rahman[2], perlu adanya dua kilas balik pemahaman demi suatu redefenisi fungsi dan pemaknaan syari’ah termasuk tema-tema perempuan (baca: muslimah). Berangakat dari pemikiran ini, kedepan gerakan feminisme dapat kembali hidup dalam tataran manusiawi terhadap hegemoni patriarki yang dipengaruhi berbagai sebab yang akan dideskripsikan ditengah-tengah makalah ini.
Pendekatan fenomenologis dipandang lebih persuasif dan bijak bila dimanfaatkan sebagai suatu cara pandang, mengingat tentunya bahwa wacana feminisme dan gerakannya tak akan bisa lekang dari jangkauan maqasidul syari’ah. Hal ini perlu ditekankan, sebab memang banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam menilai eksistensi perempuan dalam Islam sebagai ajaran rahmatan lil’alamin.
Makalah ini merupakan aktualisasi sekerumun premis yang telah dikumandangkan para pemerhati fiminisme, sehingga layak dianalisis sebagai bahan diskusi dengan semangat rekonsiliasi bil Qur’an. Alhasil, maqasidul syari’ah yang yang termaktub dalam Al-Qur’an dapat tercapai, sebagaimana salah satu tema terindah dalam Al-Qur’an tentang feminisme, gender, emansipasi, misoginis atau apapun istilahnya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ruum : 21).

B. Pembahasan
1. Historis dan Etimologis Seputar Feminisme
Bukan langkah yang mudah untuk melacak jejak istilah feminisme ini melalui jendela historis tentang kapan untuk pertama kali istilah ini muncul dan bagaimana bentuk gerakannya. Sementara itu dibelahan bumi utara istilah feminisme ini digunakan sebagai suatu faham ideologi guna merubah minded struktur sosial masyarakat pada waktu itu. Gerakan ini berimplikasi kepada pendemokrasian rumah tangga, masyarakat, politik, ekonomi dan mengakhiri diskriminasi rasial.
Istilah feminisme mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi tahun 1914, meskipun sejak tahun 1910-an istilah ini sudah mulai dipergunakan. Sementara di Perancis, yaitu negara yang diduga tercetus istilah feminsme ini untuk pertama kalinya pada tahun 1880-an sebagai terminologi untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Salah satu tokoh yang disinyalir sebagai pendiri perjuang politik perempuan di Perancis adalah Hubertine Auclort yang sering menggunakan istilah feminisme dan feministe[3].
Berbagai macam arah kemajuan gerakan feminisme ini tak lepas dari beberapa gerakan aliran feminisme sebelumnya. Feminisme liberal yang berkembang di Barat pada abad 18 merupakan aliran baru yang muncul seiring dengan populernya arus pemikiran zaman pencerahan. Ia muncul sebagai kritik terhadap paham liberalisme yang sangat menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan kebebasan individu tetapi pada saat yang sama paham ini masih mendikriminasikan perempuan. Gerakan feminis liberal ini berfokus pada upaya reformasi sistem hukum, politik dan pendidikan sebagai cara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan[4].
Pada abad ke-19 mengemuka aliran feminisme radikal, aliran ini dikonsep untuk menggugat berbagai lembaga patriarki yang sangat didominasi oleh laki-laki. Aliran ini secara eksplisit menilai bahwa laki-laki merupakan entitas yang sangat dominan di dalam mensubordinasi perempuan. Kemudian aliran ini lebih berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960 yang lebih menekankan betuk-bentuk ketidakadilan yang muncul di masyarakat disebabkan oleh adanya perbedaan biologis yang kemudian berimplikasi pada perbedaan peran gender. Pada perkembangan berikutnya beberapa feminis penganut aliran ini cenderung antipati terhadap laki-laki dan memisahkan diri dari budaya maskulin serta mengembangkan budaya kelompoknya sendiri yang disebut sisterhood[5].
Di benua lain mengemuka pula aliran femenisme sosialis (marxis) yang menitikberatkan analisisnya bahwa pada struktur kelas dalam masyarakatlah yang menyebabkan pembedaan dan penindasan terhadap perempuan dengan membedakan ruang kerja bagi perempuan. Menurut Mansour Faqih analisis feminisme sosialis (marxis) ini dilanggengkan dengan berbagai alasan dan cara, yaitu melalui sesuatu yang disebut eksploitasi pulang kerumah. Artinya, sistem kapitalisme membuat laki-laki dieksploitasi sedemikian rupa supaya lebih produktif, sementara perempuan hanya ditempatkan sebagai buruh cadangan. Sehingga wajar jika di dalam pembagian upah kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki[6].
Sementara dalam dunia Islam, kemunculan kesadaran perempuan untuk melakukan gerakannya lebih banyak bermuara di Mesir. Qasim Amin (1865-1908) melalui dua karyanya yang terkenal tahrir al-mar’ah dan al-mar’ah al-jadidah telah membangunkan kesadaran muslimah dari tidur panjangnya[7]. Kemudian bermunculanlah tokoh emansipasi Mesir lainnya, seperti Salamah Musa. Lalu Nona Nabawiyyah Musa sebagai perempuan pertama pemilik ijazah SMU di Mesir, Malak Hifni Nassef dengan publikasi artikel-artikelnya di majalah al-jaridah milik Partai Ummah yang sekuler dan liberal. Sedangkan femenisme sebagai gerakan mulai didirikan oleh Fathimah Rasyid, istri pemilik Koran Nasionalis Al-Dustur dengan organisasi Himpunan untuk Kemajuan Perempuan (1908). Lalu Huda Sya’rawi dan Mai Ziyadah dengan Asosiasi Intelektual Perempuan Mesir (1914) dan Himpunan Perempuan Baru (1919). Organisasi-organisasi ini gigih berjuang menyuarakan hak-hak dan anti-diskriminasi terhadap perempuan, seperti penentangan terhadap poligami, pemberian hak-pilih politik kepada perempuan, wajib belajar bagi perempuan dan lain sebagainya[8].

2. Gerakan Feminisme Indonesia
Dalam konteks keindonesiaan, fenomena gerakan baru muncul pada masa-masa akhir penjajahan Belanda atas Indonesia. RA. Kartini dan Dr. Dewi Sartika contohnya, namun sebagai suatu gerakan organisasi baru dimulai pada bidang kewanitaan Sarekat Islam (1918) yang didirikan Siti Fathimah di Garut, perkumpulan Wanoedyo Oetomo yang kedua organisasi ini kemudian berfusi ke dalam Serikat Putri Islam atau Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Sementara sebagai suatu gerakan fenomenal adalah organisasi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang bisa dijadikan studi kasus. Terlepas dari kontroversi sejarah tentang stereotip yang dilekatkan pada Gerwani, tetapi organisasi yang berdiri pada tahun 1950 dengan nama Gerwis (Gerakan Wanita Indonesis Sedar) ini merupakan organisasi massa perempuan yang gemanya sangat lantang dalam membela hak-hak perempuan dan anak sesuai dengan kondisi zamannya. Dalam kondisi negara sedang membangun kembali infrastruktur, Gerwani memilih tiga medan perjuangan, yaitu: medan politik, medan perempuan, dan medan daerah dengan jalan penggalangan kekuatan massa serta jalur perjuangan parlemen. Bagi Gerwani, terdapat hal-hal penting yang harus diperjuangkan lewat parlemen seperti memasukkan agenda perempuan dalam RUU. Di samping itu, musuh ideologis Gerwani adalah berbagai pihak yang berpandangan tidak sejalan dan aneka wacana sebagai penyebab berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan baik yang bersumber pada feodalisme, imperialisme, kolonialisme maupun agama[9]. Agenda-agenda perjuangan ini tentu sangat identik dengan agenda perjuangan feminisme sebagaimana pada umumnya.
Di Indonesia sendiri, terjadi penamaan yang kurang tepat di dalam pengaruh pemaknaan kaum hawa sebagai subyek feminisme itu sendiri. Selama ini masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan istilah wanita dibandingkan kata perempuan dalam gerakannya, sebut saja: Pusat Studi Wanita, emansipasi wanita, Tenaga Kerja Wanita, Dharma Wanita bahkan tertulis dalam sejarah tentang Kementerian Peranan Wanita. Padahal bila dirunut secara etimologi kata wanita merupakan idiom berasal dari bahasa Jawa, yaitu: wani dan ta, yang merupakan ringkasan kata wani ditata (bersedia untuk diatur), perspektif etimologis ini penting sekali mengingat setiap kata dalam bahasa pasti memiliki ruh yang mempengaruhi makna kata itu sendiri. Berbeda dengan kata perempuan, kata ini berasal dari kata: mpu, suatu kata dalam bahasa Sansekerta yang berarti: orang mulia, yang kemudian dalam penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia mendapat sufik per- dan prefik -an yang membentuk makna: seseorang yang dimuliakan. Terlepas dari image yang dilekatkan sendiri oleh sebagian aktivis feminisme saat ini, yang terkesan menghindari penggunaan kata perempuan sebagai indetitas yang diusung, diduga pergeseran kata ini untuk menghindari kesan inferior dan tidak modern.

3. Tema-Tema Feminisme dalam Bidikan Fenomenologi
Perubahan kondisi sosial yang begitu cepat ternyata beriplikasi pada persepsi setiap individu di dalam masyarakat. Akslerasi arus teknologi dan informasi juga menuntut setiap individu untuk merespon segala gejala yang ada. Feminisme sekali lagi sangat membutuhkan pendekatan yang proposional untuk membaca arti hadirnya. Meski idealnya bahwa pendekatan feminis dapat digunakan untuk mereduksi makna yang ada, karena bagaimanapun hanya perempuanlah yang dapat menilai apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Namun jangan lupa, feminisme, gender dan emansipasi secara makro bentuknya juga sangat dipengaruhi watak sosial masyarakat, realitas sejarah, politik, pendidikan dan konteks kekinian. Sehingga akan lebih mengena bila ditinjau terkait dengan perkembangan historis fenomenologi agama, penelitian Jacques Waardenberg Classical Approaches to The Study of Religion (1973) merupakan teks substantif yang menyatakan :
Untuk menjadikan “agama” sebagi subjek penelitian empiris dan mulai menelitinya sebagi realitas manusia, niscaya menuntut tidak hanya upaya yang sungguh-sungguh tetapi juga keteguhan hati dan keberanian…salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap “irrasional” dibuka tidak hanya terhadap penelitian filosofis tetapi juga penelitian rasional[10].

Mircea Eliade penulis buku Patterns In Comparative Religion (1958) dan The Sacred and the Profane (1959) merupakan pelopor pendekatan ini. Disebutkan bahwa problem yang paling jelas dalam upaya membangun suatu pendekatan ilmiah dalam studi agama ini adalah pada begitu banyak disiplin ilmu (sejarah, psikologi, sosiologi dan antropologi) yang dijadikan landasan hipotesa, sehingga membutuhkan sekerumun ahli untuk suatu menganalisa wacana yang dibidik[11].

4. Feminisme; Gerakan Tanpa Arah?
Kembali kewilayah feminis, Islam yang digunakan sebagai perspektif sekaligus kritik terhadap kemapanan kontruksi yang disuburkan oleh interprestasi konservatif Islam itu sendiri. Islam tidak dipandang hanya sebagai agama dengan kumpulan teks-teks verbal, tetapi dipandang sebagai inspirasi dalam pembentukan ruang sosial yang lebih humanis. Poligami, karier, gugat cerai, hak waris, kepemimpinan, jilbab dan banyak lainnya merupakan isu yang digulirkan para aktivis dan diteliti celah-celah ketidakadilan yang mendekam didalamnya.
Tentu, perlu diproyeksikan penyebab ketidakadilan yang ada untuk merubah cara pandang kehendak Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Karena bagaimanapun ketimpangan yang ada bukan disebabkan oleh Al-Qur’an tetapi cara pandang manusia yang kerap menerapkan makna secara kompulsif. Latarbelakang sejarah, sosial ekonomi, budaya, pendidikan dan agama merupakan aspek-aspek yang perlu dianalisis sehingga ukuran kesuksesan gerakan feminisme tidak digebyah uyah dengan kesuksesan atau kebebasan liberal seperti yang digemakan aktivis dibarat. Negeri dimana when women have the freedom to sleep with whichever man they wish.
Yang terjadi pada tataran praksis memang ironis, simak bagaimana di dalam Islam para muslimah tidak saja berhadapan dengan beberapa problem mendasar di atas. Kuatnya kultur patriarki dan dominasi interprestasi teks Al-Qur’an dan Hadits yang tidak memihak perempuan. Bahkan sebagai autokritik, ketidakpekaan menyikapi feminisme ini juga dimiliki para ulama di lingkungan pesantren. Lihat saja pada tradisi bahtsul masa’il Nahdlatul Ulama, fenomena yang terlihat adalah dominasi laki-laki di dalam pembahasan persoalan fiqih. Meski terdapat organisasi Fatayat dan Muslimat NU, hampir tidak pernah dijumpai forum bahtsul masail yang digagas kaum perempuan guna membahas persoalan keperempuanan melalui pendekatan fiqih atau ushul fiqih, atau setidaknya karya-karya monumental yang lahir dari perempuan. Agak aneh memang, padahal tak sedikit perempuan yang belajar ilmu keagamaan di pesantren sebagaimana laki-laki.
Lalu sejalan dengan subtema di atas dengan pertanyaan yang sering muncul dan berkaitan dengan feminisme, apakah perempuan yang berada di rumah itu merupakan problem gender yang mendiskriminasikan perempuan? Lalu bagaimana dengan para perempuan yang memang menjadikan rumah sebagai institusi yang lebih menyenangkan bagi kehidupannya dibandingkan berkarir secara ekstrim diruang publik?. Jawabannya tentu sulit, karena kontruksi yang melekat bagi permpuan yang telah menikah adalah anggapan bahwa dirinya merupakan milik laki-laki (suami) sehingga pembagian peran dan kerja di dalam keluarga lebih menekankan perbedaan jenis kelamin. Agresifitas, kekuatan fisik, rasionalisme telah menjadi standar yang menjadi parameter dalam kontruksi sosial dan budaya sebagai milik laki-laki. Akibatnya laki-laki yang terlanjur diposisikan sebagai kepala rumah tangga dan mengemban tanggungjawab yang tak ringan. Dan bagi sang suami yang ternyata tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi keluarganya kemudian justru melampiaskan emosinya kepada istri dan anak-anaknya. Terlebih bila menganggur maka sang suami akan merasa tidak berharga dan tak punya harga diri karena kontruksi sosial budaya terlanjur menempatkan posisi laki-laki sebagai tumpuan keluarga.
Jilbab pula tak lekang dari kritik feminisme modern yang dianggap sebagai diskriminasi perempuan, yang oleh masyarakat industri dicitrakan katrok, bodoh dan tradisional. Justru ambiguitas stigma ini sempat mencengangkan dunia tatkala jilbab malah dijadikan alat memberontak secara damai terhadap feminisme sebagaimana sejarah yang dicatat Iran dan kota Paris Perancis sebagai kota kiblat mode dunia. “Pemakaian jilbab bukan saja lambang kesucian diri tetapi juga mencerminkan penolakan terhadap peran wanita untuk mengorbankan kewanitaannya di altar laba” tulis DR. Ghayasuddin[12]. Statement ini tentu beralasan ketika peradaban industri telah merampas indetitas perempuan di sektor manapun, ranah komersial misalnya: Iklan produk apapun pasti memafaatkan sensualitas perempuan, seperti mode, kosmetik, hiburan, rokok, minuman suplemen dan komoditi apapun bahkan iklan bola sekalipun.Terkesan hipokrit memang, ketika sebagian membuka maka sebagian menutup dan tatkala sebagian merasa terkekang sebagian yang lain justru merasa nyaman.

5. Islam; Suatu Risalah Feminisme
Dalam Islam terdapat relasi tanggung jawab kekeluargaan pada Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34[13], yang menyatakan:







Yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Dari ayat di atas terbaca bahwa kata dimaknai pemimpin atau juga ditafsiri penanggungjawab, pendidik dan lain sebagainya. Sebenarnya pemaknaan ini tidak bermasalah selama tidak diiringi perilaku dan sudut pandang yang diskriminasi. Hanya saja, tak sedikit dari para mufasir yang memaknai sebagai superioritas mutlak laki-laki yang ditangannya terdapat kehidupan perempuan. Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Al-Kabir (juz X) menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena ilmu pengetahuan (akal) dan kemampuan (kekuatan), tafsir ini adalah peniscayaan laki-laki lebih unggul dibanding istrinya.
Penafsiran seperti di atas tentu tidak mungkin dipertahankan. Ayat Al-Qur’an di atas lebih tepat diletakan dengan ketentuan yang spesifik, kontekstual dan sosiologis partikular,[14] yang perlu dikedepankan justru semangat pembebasan dan keadilan yang ada dibalik sebuah teks itu sendiri melalui penafsiaran ulang terhadap beberapa teks yang pernah ditafsiri secara absurd. Karena bagaimanapun, kondisi sosial saat ini telah banyak mengalami perubahan dan dalam banyak kenyataan tidak sedikit perempuan yang ternyata memiliki kelebihan dibandingkan laki-laki di dalam mengapresiasikan setiap fenomena kehidupan yang muncul di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama.
Islam merupakan rahmatan lil’alamin, sejatinya yang patut dikedepankan justu semangat pembebasan dan keadilan yang ada dibalik sebuah teks itu sendiri melalui penafsiran ulang sebagai aturan hukum korektif (ishtilahy) bukan persoalan yang pokok (ta’sisi) yang bisa direvisi secara terus menerus. Bahwa fiqh bukanlah agama (din) itu sendiri melainkan pengetahuan keagamaan (ma’rifat al-din) yang bisa dikonstruksi sesuai dengan ekbutuhan laki-laki dan perempuan secara bersama-sama[15]. Prinsip ini penting karena persoalan kemanusiaan yang mengupayakan kemaslahatan merupakan spirit utama agama (maqasidul syari’ah[16]) tanpa dikotomi laki-laki dan perempuan yang peruncing. Bukankah terminologi Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan seseorang itu terletak pada tingkat ketakwaannya dan tidak dilihat apakah dia itu laki-laki atau perempuan?.

C. Kesimpulan
Makalah ini tentu belum bisa mengungkap secara utuh wacana feminisme, terlebih sebagai sebuah problem solver. Namun setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat dipetik dari deskripsi di atas sebagai pembahasan yang meramaikan wacana.
Bahwa perlu dirumuskannya agenda kerja untuk memulai proses perubahan dalam konteks hubungan interprestasi tekstual perubahan dengan kehidupan perempuan berupa: pertama, mengoreksi teks yang digunakan untuk mendiskriminasikan perempuan dan menghadapkannya dengan teks-teks lain yang justru menentang diskriminasi itu sendiri. Kedua, memeriksa asumsi-asumsi tersembunyi yang mendasari penafsiran dan perumusan ajaran agama yang mengidap bias gender[17]. Caranya adalah mengubah metode pengambilan hukum serta kategori-kategori hukumnya yang qath’iy dan zhanniy. Jika dulu teks qath’iy itu dimaknai sebagi teks yang sudah jelas dan nyata, tidak boleh ada kritik sehingga menyudutkan kaum perempuan dengan contoh penafsiran Al-Qur’an dan pentakwilan Hadits yang masih dipakai dewasa ini, maka untuk kedepan, qath’iy bisa dimaknai sebagai prinsip-prinsip dasar yang tidak lagi menimbulkan perdebatan, seperti prinsip tentang keadilan, mu’asyarah bi ma’ruf, kesetaraan, dan sebagainya[18].
Arah gerakan perempuan lebih tepat kiranya dilakukan dalam kerangka gerakan transformatif, yaitu suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang lebih humanis, adil, setara dan bukan berdasarkan ‘dendam’ semata-mata kepada laki-laki.
Terakhir, Sayyidatina Khadijah adalah model yang tepat bagi umat Islam untuk merefleksikan diri secara tepat dalam mencari jati diri dan arah feminisme di zaman yang semakin kompleks dan mengaburkan indetitas ini.






R E F E R E N S I



Achmad Djunaidi&Thobieb Al-Asyhar. Khadijah Sosok Perempuan Karier Sukses. (Jakarta: MITRA ABADI PRESS)
Clive Erricker. Pendekatan Fenomenologis dalam Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta:Lkis, 2002)
Endang Sumiarni, Gender & Feminisme, (Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004)
Farid Wajidi, Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hasan dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1993)
Giora Eliraz, Intelektual Mesir dan Emansipasi Perempuan, (Magelang: Indonesia Tera, 2004)
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan. Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta:Lkis, 2001)
J.Waardenberg. Classical Approaches to The Study of Religion (The Hague: Mouton and Co, 1973)
Jalaluddin Rakhmat. Islam Aktual. (Bandung: 1998).
Leila Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam. Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, (Jakarta: Lentera, 2000)
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Masdar F Mas’udi, Potensi Perubahan Relasi Gender Di Lingkungan Umat Islam: Sebuah Pengalaman ‘ Dalam Menakar ‘Harga’ Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Peproduksi Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999)
Saskia Eleonora Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. (Jakarta: Garba Budaya, 1999)
www.alquran-digital.com
[1] Achmad Djunaidi&Thobieb Al-Asyhar. Khadijah Sosok Perempuan Karier Sukses. (Jakarta: MITRA ABADI PRESS) hal.83.
[2] Seorang pemikir muslim cemerlang kelahiran Pakistan pada tahun 1919-1988 M. Kecermerlangan tercermin dalam gagasan-gagasan yang diartikulasikan dalam sejumlah buku, artikel, mulai dari persoalan filsafat, teologi, mistik, hukum sampai persoalan perkembangan kotemporer yang tidak ragu lagi, membutuhkan penafsiran baru terahadap kandungan Al-Qur’an dengan tafsir Double Movementnya.
[3]Saskia Eleonora Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. (Jakarta: Garba Budaya, 1999), h. 72
[4] Endang Sumiarni, Gender & Feminisme, (Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004), h. 60-63
[5] Ibid, h. 66-76
[6] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet.ke-5 h. 104
[7] Giora Eliraz, Intelektual Mesir dan Emansipasi Perempuan, (Magelang: Indonesia Tera, 2004) No. 3 h. 43
[8] Leila Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam. Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 231-241.
[9] Saskia Eleonora Wieringa, Ibid, h.xxiii-xxix
[10] J.Waardenberg. Classical Approaches to The Study of Religion (The Hague: Mouton and Co, 1973) hal 3
[11] Clive Erricker. Pendekatan Fenomenologis dalam Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta:Lkis, 2002) cet.I h. 109
[12] Jalaluddin Rakhmat. Islam Aktual. (Bandung: 1998). Cet. X hal.195
[13] www. Al-Qur’an-Digital.com
[14] Husein Muhammad. Fiqh Perempuan. Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta:Lkis, 2001) h. 20-21.
[15] Achmad Djunaidi&Thobieb Al-Asyhar. Ibid. hal.86
[16] Maqashidul Syari’ah adalah prinsip-prinsip dasar syariah yang bertujuan untuk melindungi kehidupan, ekonomi, pemikiran, agama dan keturunan.
[17] Farid Wajidi, Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffat Hasan dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1993) hal 13
[18] Masdar F Mas’udi, Potensi Perubahan Relasi Gender Di Lingkungan Umat Islam: Sebuah Pengalaman ‘ Dalam Menakar ‘Harga’ Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Peproduksi Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 247

NU dalam Kompetisi Dakwah Islamiyyah

Sugeng Riyadi SE; Alumni Pondok Pesantren Al-Mubarok Malang, merupakan aktivis GP Anshor yang sedang menjalani studi pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sejarah Indonesia telah mencatat kuantitas jama’ah Nahdhatul Ulama sebagai organisasi massa Islam dengan jumlah terbesar di negara republik ini. Namun penelitian ini rasanya patut kita rumuskan lagi, setidaknya kita takar kembali. Mengapa ini menjadi penting untuk dilakukan? Ada dua alasan mendasar yang melatarbelakangi pertanyaan ini. Pertama, penyataan di atas tersebut dilakukan pada masa sebelum reformasi. Kedua, sebagai upaya intropeksi kejama’ahan (baca: NU sebagai organisasi) agar tidak terlena oleh pernyataan-pernyataan kadaluwarsa guna membuai integritas warganya.

Bila diperhatikan, dakwah agama Islam dewasa ini dapat dipetakan ke dalam tiga arus besar perjuangan. Pertama, organisasi Islam puritan yang sangat menonjolkan simbol-simbol Islam di dalam misi dakwahnya. Organisasi-organisasi ini mencoba menawarkan suasana sejarah kejayaan Islam pada abad-abad yang lampau dan tercermin dengan dakwah demi pendirian negara Islam, adopsi budaya Timur Tengah dan tema-tema simbolik lainnya sebagai wujud kaffahnya memeluk agama Islam. Organisasi ini bukan saja membidik awam kebanyakan di dalam upaya merekrut anggota, namun juga menjadikan para mahasiswa yang minim pemahamannya tentang Islam sebagai wahana pengkaderannya. Dan pada kenyataannya golongan Islam puritan ini dengan menempatkan tema-tema di atas, ternyata mendapatkan simpatisan yang signifikan di dalam meraih massa. Hal ini tercover dengan melambungnya simpatisan salah satu partai politik yang menjadi motor dakwah organisasi puritan ini.

Mainstream ke dua adalah mulai memasyarakatnya organisasi-organisasi dengan corak ajakan dakwah dengan misi liberal. Maksudnya adalah para simpatisan yang tergabung di dalam organisasi dan lembaga-lembaga ini ditanamkan di dalam akar pemikirannya tentang kebebasan berfikir dan ber-Islam. Anehnya (kalau boleh disebut demikian), dakwah Islam liberal ini justru “laku” dikalangan para profesional dengan tingkat pendidikan yang di atas rata-rata. Terdapat gap lebar antara model dakwah ini dengan model dakwah yang pertama di atas. Puncaknya adalah ketika terjadi kontak fisik di Monas pertengahan tahun 2008 ini, hingga kini permasalahan inipun seolah menjadi bara di dalam sekam sebagai akibat status quo-nya fungsi negara di dalam menangani kasus ini. Yang menjadi ironis adalah memuncaknya seteru kedua kelompok pemikiran ini, bahkan hingga terlibat saling klaim kafir yang kemudian diikuti perang peradilan antara satu dengan lainnya.

Mainstream yang terakhir sebagai “ladang” ummat, adalah organisasi Islam kemasyarakatan “konvensional” yang telah mapan sebelumnya. Tunjuk hidung saja, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Nahdhatul Ulama (NU) sendiri merupakan ormas yang sejak awal pendiriannya oleh para pendahulunya telah mewarisi jutaan simpatisan sebagai suatu jama’ah besar. Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, warga NU merupakan “ladang” bagi kedua mainstream di atas guna mendulang masa simpatisannya. Dalam hal ini adalah para generasi mudanya, fasilitas kultural religiusnya (masjid) bahkan hingga unit-unit dakwah yang dimilikinya (partai politik, lembaga ekonomi dan lembaga pendidikan). Dan bukan rahasia lagi, ditengah kecambuk kompetisi dakwah tersebut, mainstream yang terakhir inipun di dalamnyapun terjadi “perang dakwah” antar sesama mubalighnya.

Secara interen, seyogyanya NU dan sayap-sayap perjuangannya memaknai fenomena di atas sebagai suatu tugas besar yang membutuhkan tanggungjawab, manajerial dan kekompakan yang tinggi. Ungkapan keprihatinan tentu saja telah menjadi pendengaran umum, bayangkan saja bahwa telah jamak diperkotaan yang menyandang pusat studi para generasi muda NU (utamanya para alumni pesantren) yang menjalani proses kuliah ditarik ke dalam pemikiran ataupun organisasi puritan dan liberal. Sementara dipedesaan kuantitas jama’ahpun patut dipertanyakan dengan beralih tangannya kepengurusan masjid kepada organisasi agama Islam lainnya, bayangkan tentang kenyataan sunyinya kebanyakan masjid dari gumam dzikir. Sudut pandang ini tentu sudah waktunya disikapi dengan lebih nyata. Memberikan perhatian yang lebih kepada organisasi pemuda NU (Anshor, IPNU, IPPNU, Fatayat dan PMII) tentu suatu keharusan dengan tingkat realisir yang semakin urgent.

Dalam masalah ini, setidaknya dari analisa penulis bahwa perlu diusahakan untuk setiap perguruan tinggi yang ada di penjuru negara Indonesia diselenggarakan sayap-sayap dakwah NU. Namun, masalah laten yang timbul kemudian adalah persoalan pendanaan organisasi dan pembimbing yang kemudian diserahi mengurusi sayap-sayap dakwah tersebut. Sebagai suatu korektif solutif adalah pembenahan unit-unit pendanaan NU dengan efisiensi dan profesionalitas lembaga perekonomian NU seperti BMT dan kontribusi kader-kader NU pada berbagai jabatan politik yang ada. Sementara guna menjawab permasalahan pembimbing, sudah selayaknya “menikahkan” kembali pesantren-pesantren yang terdapat pada sentra-sentra studi yang ada dengan dengan berbagai sayap-sayap perjuangan NU. Selama ini terkesan organisasi-organisasi underbound NU terlalu mandiri secara sosio kultural-edukatif dengan pesantren meski berada pada medan juang yang sama.

Alhasil, semoga dengan sekelumit realitas di atas seluruh warga NU (utamanya struktural) memberikan respek yang lebih pada fenomena dakwah empirik yang ada. Utamanya nasib kader-kader yang ada, laksana berpacu dengan waktu maka mata rantai perjuangan NU merupakan jihad yang fardu ‘ain untuk diperjuangkan. Menurut hemat penulis, para Ulama dan Mubaligh sebagai penuntun umat selayaknya merumuskan kembali praksis metodologis yang akan diaplikasikan pada masyarakat. Menumbuhkan rasa bangga pada NU dengan prestasi kekinian merupakan tugas besar bagi struktural yang ada, dan sudah saatnya warga NU tidak hanya dilenakan oleh sejarah gemilang para Ulama terdahulu. Selain merumuskan kembali pola dakwah kotemporer, NU dan warganya juga dituntut membenahi lembaga-lembaga pilar organisasi yang ada seperti Lembaga Ekonomi sebagai sumber pendanaan orgaisatoris dan materi-materi progresif pengkaderan bagi para warga NU pemula. Wallahu ‘alam bis showab.