Senin, 13 Oktober 2008

NU dalam Kompetisi Dakwah Islamiyyah

Sugeng Riyadi SE; Alumni Pondok Pesantren Al-Mubarok Malang, merupakan aktivis GP Anshor yang sedang menjalani studi pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sejarah Indonesia telah mencatat kuantitas jama’ah Nahdhatul Ulama sebagai organisasi massa Islam dengan jumlah terbesar di negara republik ini. Namun penelitian ini rasanya patut kita rumuskan lagi, setidaknya kita takar kembali. Mengapa ini menjadi penting untuk dilakukan? Ada dua alasan mendasar yang melatarbelakangi pertanyaan ini. Pertama, penyataan di atas tersebut dilakukan pada masa sebelum reformasi. Kedua, sebagai upaya intropeksi kejama’ahan (baca: NU sebagai organisasi) agar tidak terlena oleh pernyataan-pernyataan kadaluwarsa guna membuai integritas warganya.

Bila diperhatikan, dakwah agama Islam dewasa ini dapat dipetakan ke dalam tiga arus besar perjuangan. Pertama, organisasi Islam puritan yang sangat menonjolkan simbol-simbol Islam di dalam misi dakwahnya. Organisasi-organisasi ini mencoba menawarkan suasana sejarah kejayaan Islam pada abad-abad yang lampau dan tercermin dengan dakwah demi pendirian negara Islam, adopsi budaya Timur Tengah dan tema-tema simbolik lainnya sebagai wujud kaffahnya memeluk agama Islam. Organisasi ini bukan saja membidik awam kebanyakan di dalam upaya merekrut anggota, namun juga menjadikan para mahasiswa yang minim pemahamannya tentang Islam sebagai wahana pengkaderannya. Dan pada kenyataannya golongan Islam puritan ini dengan menempatkan tema-tema di atas, ternyata mendapatkan simpatisan yang signifikan di dalam meraih massa. Hal ini tercover dengan melambungnya simpatisan salah satu partai politik yang menjadi motor dakwah organisasi puritan ini.

Mainstream ke dua adalah mulai memasyarakatnya organisasi-organisasi dengan corak ajakan dakwah dengan misi liberal. Maksudnya adalah para simpatisan yang tergabung di dalam organisasi dan lembaga-lembaga ini ditanamkan di dalam akar pemikirannya tentang kebebasan berfikir dan ber-Islam. Anehnya (kalau boleh disebut demikian), dakwah Islam liberal ini justru “laku” dikalangan para profesional dengan tingkat pendidikan yang di atas rata-rata. Terdapat gap lebar antara model dakwah ini dengan model dakwah yang pertama di atas. Puncaknya adalah ketika terjadi kontak fisik di Monas pertengahan tahun 2008 ini, hingga kini permasalahan inipun seolah menjadi bara di dalam sekam sebagai akibat status quo-nya fungsi negara di dalam menangani kasus ini. Yang menjadi ironis adalah memuncaknya seteru kedua kelompok pemikiran ini, bahkan hingga terlibat saling klaim kafir yang kemudian diikuti perang peradilan antara satu dengan lainnya.

Mainstream yang terakhir sebagai “ladang” ummat, adalah organisasi Islam kemasyarakatan “konvensional” yang telah mapan sebelumnya. Tunjuk hidung saja, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Nahdhatul Ulama (NU) sendiri merupakan ormas yang sejak awal pendiriannya oleh para pendahulunya telah mewarisi jutaan simpatisan sebagai suatu jama’ah besar. Tidak berbeda dengan Muhammadiyah, warga NU merupakan “ladang” bagi kedua mainstream di atas guna mendulang masa simpatisannya. Dalam hal ini adalah para generasi mudanya, fasilitas kultural religiusnya (masjid) bahkan hingga unit-unit dakwah yang dimilikinya (partai politik, lembaga ekonomi dan lembaga pendidikan). Dan bukan rahasia lagi, ditengah kecambuk kompetisi dakwah tersebut, mainstream yang terakhir inipun di dalamnyapun terjadi “perang dakwah” antar sesama mubalighnya.

Secara interen, seyogyanya NU dan sayap-sayap perjuangannya memaknai fenomena di atas sebagai suatu tugas besar yang membutuhkan tanggungjawab, manajerial dan kekompakan yang tinggi. Ungkapan keprihatinan tentu saja telah menjadi pendengaran umum, bayangkan saja bahwa telah jamak diperkotaan yang menyandang pusat studi para generasi muda NU (utamanya para alumni pesantren) yang menjalani proses kuliah ditarik ke dalam pemikiran ataupun organisasi puritan dan liberal. Sementara dipedesaan kuantitas jama’ahpun patut dipertanyakan dengan beralih tangannya kepengurusan masjid kepada organisasi agama Islam lainnya, bayangkan tentang kenyataan sunyinya kebanyakan masjid dari gumam dzikir. Sudut pandang ini tentu sudah waktunya disikapi dengan lebih nyata. Memberikan perhatian yang lebih kepada organisasi pemuda NU (Anshor, IPNU, IPPNU, Fatayat dan PMII) tentu suatu keharusan dengan tingkat realisir yang semakin urgent.

Dalam masalah ini, setidaknya dari analisa penulis bahwa perlu diusahakan untuk setiap perguruan tinggi yang ada di penjuru negara Indonesia diselenggarakan sayap-sayap dakwah NU. Namun, masalah laten yang timbul kemudian adalah persoalan pendanaan organisasi dan pembimbing yang kemudian diserahi mengurusi sayap-sayap dakwah tersebut. Sebagai suatu korektif solutif adalah pembenahan unit-unit pendanaan NU dengan efisiensi dan profesionalitas lembaga perekonomian NU seperti BMT dan kontribusi kader-kader NU pada berbagai jabatan politik yang ada. Sementara guna menjawab permasalahan pembimbing, sudah selayaknya “menikahkan” kembali pesantren-pesantren yang terdapat pada sentra-sentra studi yang ada dengan dengan berbagai sayap-sayap perjuangan NU. Selama ini terkesan organisasi-organisasi underbound NU terlalu mandiri secara sosio kultural-edukatif dengan pesantren meski berada pada medan juang yang sama.

Alhasil, semoga dengan sekelumit realitas di atas seluruh warga NU (utamanya struktural) memberikan respek yang lebih pada fenomena dakwah empirik yang ada. Utamanya nasib kader-kader yang ada, laksana berpacu dengan waktu maka mata rantai perjuangan NU merupakan jihad yang fardu ‘ain untuk diperjuangkan. Menurut hemat penulis, para Ulama dan Mubaligh sebagai penuntun umat selayaknya merumuskan kembali praksis metodologis yang akan diaplikasikan pada masyarakat. Menumbuhkan rasa bangga pada NU dengan prestasi kekinian merupakan tugas besar bagi struktural yang ada, dan sudah saatnya warga NU tidak hanya dilenakan oleh sejarah gemilang para Ulama terdahulu. Selain merumuskan kembali pola dakwah kotemporer, NU dan warganya juga dituntut membenahi lembaga-lembaga pilar organisasi yang ada seperti Lembaga Ekonomi sebagai sumber pendanaan orgaisatoris dan materi-materi progresif pengkaderan bagi para warga NU pemula. Wallahu ‘alam bis showab.

Tidak ada komentar: